“Oh kukang, yang ada di film kartun Zootopia itu ya?”
Seberapa sering teman-teman mendapatkan pertanyaan di atas ketika bicara soal kukang? Bagi kami, jawabannya: cukup sering! Banyak orang mengira bahwa kukang itu sloth. Meskipun keduanya terkenal dengan gerakan lambat. Dari namanya saja, slow loris yang berarti pergerakan yang slow, namun kukang bukanlah sloth.
Lalu ada lagi, kukang dan kungkang itu sama nggak sih? Meskipun sekilas terlihat mirip, keduanya adalah binatang yang sama sekali berbeda. Kukang adalah hewan dari ordo primata sedangkan kungkang adalah mamalia ordo pilosa. Keterbatasan pengetahuan tentang kukang ini cukup banyak ditemukan dalam skala umum, apalagi tentang kukang jawa.
Jika kita berbicara tentang keterbatasan, kukang jawa tampaknya dikelilingi olehnya. Bukan hanya terbatas dalam hal distribusi, populasi, dan habitat—yang membuatnya terdaftar sebagai satwa terancam punah sejak 2008—tetapi juga dalam hal informasi ilmiah dan ketersediaan pakan.
Kukang Jawa (Nycticebus javanicus) adalah primata endemik pulau Jawa. Meskipun namanya ‘Jawa’, satwa yang memiliki racun atau dikenal sebagai salah satu venomous primate ini hanya ditemui di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Sedangkan informasi di Jawa Timur hanya sebatas rumor dan belum ada bukti kuat mengenai keberadaannya.
Kukang Jawa dan Pengetahuan Masyarakat di Hutan Kemuning
Salah satu habitat di Jawa Tengah adalah di Hutan Kemuning, yang masih masuk dalam kawasan Desa Kemuning, Kecamatan Bejen, Kabupaten Temanggung. Mayoritas warga Desa Kemuning menggantungkan hidup sebagai petani kopi. Tanaman kopi mereka tumbuh di bawah rindangnya tegakan Hutan Kemuning, membuat aktivitas mereka tak lepas dari hutan. Hampir setiap hari mereka masuk ke dalamnya untuk merawat tanaman kopi.
Namun, meski begitu dekat dengan hutan, ternyata tak semua warga mengenal penghuni malam yang diam-diam berbagi ruang hidup dengan mereka: kukang jawa. Fakta ini terungkap dari wawancara terstruktur yang dilakukan oleh tim JAWI bersama warga Desa Kemuning. Dari sana, muncul satu hal menarik—pengetahuan tentang kukang jawa rupanya tak tersebar merata. Perbedaan mencolok terlihat antara laki-laki dan perempuan. Warga laki-laki, yang lebih sering beraktivitas di hutan malam hari, umumnya dapat mengenali dan menceritakan tentang kukang jawa yang aktif saat gelap. Sebaliknya, banyak perempuan belum akrab dengan satwa ini, karena mereka jarang atau bahkan tidak pernah masuk ke hutan pada malam hari.
Meski demikian, bukan berarti perempuan sama sekali tidak mengenal kukang jawa. Beberapa diantaranya justru dapat bercerita dengan cukup baik, bahkan dapat menyebutkan bahwa satwa ini dilindungi oleh pemerintah. Menariknya, pengetahuan ini mereka dapatkan bukan dari pengalaman di hutan, melainkan dari papan informasi satwa dilindungi yang dipasang oleh JAWI. Papan itu mereka baca ketika menemani anak-anak bermain di sekitar rumah—sebuah bukti bahwa edukasi bisa hadir dari ruang yang paling sederhana.
“Oh, kukang jawa, yang gambarnya ada papan depan jalan masuk hutan itu kan, Mbak? Bentuknya kayak kucing, warnanya coklat, dan bagian kepalanya belang ada warna putihnya. Saya tahu dari gambar di papan itu, belum pernah ketemu langsung di hutan.”, ujar Sumarsih salah satu responden perempuan.
Pemahaman ini menjadi modal yang cukup baik namun tetap perlu ditingkatkan untuk mendukung konservasi kukang jawa di habitat alaminya.
Kukang Jawa Makan Apa, sih?
Meskipun kukang jawa aslinya tinggal di hutan, namun, ketahanan, fleksibilitas, dan daya adaptasinya yang hebat memungkinkan binatang arboreal ini untuk hidup di kawasan agroforestry, asalkan masih menyediakan konektivitas antar kanopi. Tidak seperti primata yang umum kita ketahui, kukang jawa adalah exudativorus atau pemakan getah.
Lalu getah apa saja yang mereka makan? Ini akan bervariasi tergantung jenis pohon yang tumbuh di area jelajahnya. Sayangnya, kukang jawa yang hidup di kawasan agroforestry terancam mengalami keterbatasan pakan karena pohon getahnya semakin berkurang.
Berdasarkan hasil monitoring bersama tim Little Fireface Project (LFP), dari 75 pohon pakan yang tercatat di tahun 2013 hanya 10 yang tercatat bertahan di tahun 2021. Pohon pakan yang berharga ini dikenal sebagai jiengjen oleh penduduk sekitar atau nama ilmiahnya Acacia decurrens.
Getah dari pohon jiengjen adalah sumber daya krusial bagi kukang jawa. Satwa nocturnal ini tidak hanya sekedar memakan getah—mereka terlebih dahulu menggerogoti batang pohon. Aktivitas ini ternyata merupakan cara kukang untuk membersihkan giginya. Selain itu getah pohon merupakan makanan kaya energi yang tersedia sepanjang tahun dan tidak terbatas pada musim. Berbeda dengan bunga yang hanya muncul pada musim-musim tertentu.
Di musim kemarau, kukang jawa juga kerap mengonsumsi nektar bunga kaliandra merah (Calliandra calothyrsus) yang menjadi sumber energi lain bagi kukang jawa. Usut punya usut, ternyata hal ini bisa disebabkan karena banyak pohon jiengjeng ditebang oleh masyarakat. Alasannya macam-macam, mulai dari kebutuhan bahan bangunan, furnitur hingga sering dianggap menganggu lahan pertanian. Hal ini apabila diteruskan dapat semakin memperjelas keterbatasan pakan kukang jawa di habitatnya yang sudah terbatas ini. Untungnya, jiengjen memiliki kualitas nutrisi yang mirip dengan gum arabic, yang mana gum arabic ini dapat dijadikan komoditas untuk diperdagangkan. Dapatkah bisnis gum jiengjen menjadi alternatif win-win solution untuk menjembatani keterbatasan pakan dan ekonomi warga?
Terlepas dari semua keterbatasan di atas, tentu saja semangat para pegiat konservasi sangat tidak terbatas untuk bersama-sama menciptakan masa depan yang lebih baik bagi manusia dan Kukang Jawa. Sebagai misi untuk meningkatkan penyebaran informasi dan kepedulian, dua peneliti dari tim JAWI bicara tentang serba serbi kukang jawa pada Asian Primate Symposium ke 9 di Medan, Sumatra Utara.
Kami harap juga dengan artikel ini, para pembaca dapat selangkah lebih kenal dengan kukang jawa dan menjadi peduli. Apabila teman-teman berminat untuk lebih jauh lagi mengenal kukang jawa, teman-teman dapat melihat beberapa artikel lain pada website ini. Teman-teman juga dapat mendukung kegiatan tim JAWI dalam penyebaran informasi dan konservasi kukang jawa di Hutan Kemuning melalui secangkir kopi hangat untuk menemani hari. Untuk pemesanan teman-teman dapat menghubungi kami melalui sosial media (@javanwildlife).
Semoga tidak ada lagi keterbatasan bagi kukang jawa di kemudian hari, salam lestari!
Referensi:
Cabana, F., Dierenfeld, E., Wirdateti, W., Donati, G., & Nekaris, K. A. I. (2017). The seasonal feeding ecology of the javan slow loris (nycticebus javanicus). American Journal of Physical Anthropology, 162(4), 768–781. https://doi.org/10.1002/ajpa.23168
Dewi, T., Hedger, K., Adinda, E., Albihad, D., Lukmandaru, G., Imron, M. A., & Nekaris, K. A. I. (2024). Carbohydrate-rich diet for Javan slow loris in highland agricultural human-dominated habitat. 9th Asian Primate Symposium.
Dewi, T., Imron, M. A., Lukmandaru, G., Hedger, K., Campera, M., & Nekaris, K. A. I. (2022). The sticky tasty: the nutritional content of the exudativorous diet of the Javan slow loris in a lowland forest. Primates, 63(1), 93–102. https://doi.org/10.1007/s10329-021-00962-2
Rachmawati, F. D., Dewi, T., Albihad, D., & Imron, M. A. (2024). Illuminating conservation through local ecological knowledge: Insights from the Javan slow loris in Kemuning, Central Java. 9th Asian Primate Symposium.