Bulan ini, tepatnya pada tanggal 22 September, dunia kembali memperingati Hari Badak Sedunia, sebuah momen penting sebagai pengingat akan pentingnya menjaga kelangsungan hidup spesies badak yang semakin terancam. Sejak tahun 2011, Hari Badak Sedunia menjadi simbol perjuangan global dalam meningkatkan kesadaran terhadap ancaman serius yang dihadapi badak di seluruh dunia.
Saat ini, hanya lima spesies badak yang tersisa di dunia, dan dua di antaranya ada di Indonesia: badak Jawa dan badak Sumatra. Keberadaan mereka berada dalam kondisi kritis, dan nasib yang berada di ujung tanduk.
Peran dan Ancaman Badak
Bukan sekadar satwa megah dan eksotis, badak memiliki peran yang sangat penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Sebagai herbivora raksasa, badak memiliki peran vital dalam mengendalikan populasi tumbuhan di habitat mereka. Mereka juga berfungsi sebagai penyebar biji, yang penting bagi regenerasi tumbuhan. Menurut McConkey et al. (2022), peran mereka dalam ekosistem berbeda dengan megafauna lain, seperti gajah, meskipun pada dasarnya sama, badak diketahui cenderung menyebarkan biji dengan bentuk seperti kapsul dan lebih kecil daripada biji buah yang disebarkan oleh gajah pada habitat yang sama.
Sayangnya, satwa yang terkenal dengan tingkat reproduksi yang lambat saat ini menghadapi berbagai ancaman serius. Salah satu ancaman terbesar yang dihadapinya adalah perburuan ilegal, terutama karena permintaan cula badak yang dianggap memiliki nilai tinggi di pasar gelap. Selain itu, seperti yang disebutkan oleh Emslie dan Brooks (1999), ketika populasi badak masih tinggi, badak sering kali menjadi target perburuan karena dianggap sebagai hama pertanian. Mereka juga diburu untuk dijadikan sebuah trofi, daging mereka diambil, kulit mereka juga digunakan untuk membuat perisai dan benda-benda keberuntungan, serta sebagai bahan untuk pegangan belati seremonial. Hilangnya habitat alami akibat perubahan iklim dan perambahan manusia juga merupakan masalah serius yang dihadapi oleh badak secara global.
Gerakan “Keep The Five Alive”
Dengan berbagai ancaman yang mengancam dan situasi populasi badak yang semakin memprihatinkan, muncul sebuah gerakan yang merupakan inisiatif kolaboratif yang diprakarsai oleh International Rhino Foundation (IRF) yang bekerjasama dengan berbagai organisasi konservasi badak di seluruh dunia. Tujuannya adalah untuk melindungi dan mempertahankan kelima spesies badak yang masih ada di dunia. Berikut adalah kelima spesies badak yang menjadi fokus gerakan ini:
Badak Putih Selatan (Ceratotherium simum): Badak putih selatan adalah spesies badak yang paling banyak jumlahnya di dunia, tetapi mereka masih terancam oleh perburuan ilegal. Berkat upaya konservasi yang gigih, populasi mereka berhasil pulih.
Badak Hitam (Diceros bicornis): Badak hitam adalah spesies yang lebih langka, dan populasi mereka telah mengalami penurunan drastis karena perburuan ilegal, kurangnya pendanaan, upaya anti-perburuan yang terbatas, kapasitas lokal yang terbatas dalam pengelolaan konservasi, kegagalan pengadilan dalam memberikan hukuman yang dapat menjadi efek jera bagi para perburu, serta faktor genetik dan demografis lainnya yang menjadi ancaman serius bagi spesies ini.
Badak India (Rhinoceros unicornis): Badak India memiliki tanduk yang lebih pendek dibandingkan dengan spesies lainnya, dan sebagian besar dapat ditemui di India dan Nepal. Jumlah badak India telah pulih dari sekitar 200 ekor pada awal abad ke-20 dan total populasi liar telah meningkat dari 600-700 individu pada tahun 1975 menjadi sekitar 2500 pada tahun 2006.
Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis): Badak Sumatera adalah salah satu spesies badak yang paling terancam punah di dunia. Mereka juga merupakan salah satu spesies badak yang masih hidup yang paling kuno, dengan hubungan genetik yang erat dengan badak bulu mammoth yang telah punah Coelodonta. Populasi mereka sangat terbatas, diperkirakan hanya tersisa kurang dari 50 ekor dan tersebar di beberapa subpopulasi kecil. Populasi di Gunung Leuser dianggap memiliki potensi untuk berkembang.
Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus): Badak Jawa adalah salah satu spesies badak yang paling langka di dunia. Mereka hanya ditemukan di Jawa, Indonesia, dan hanya di satu taman nasional, yaitu Taman Nasional Ujung Kulon. Populasi mereka sangat kecil, dan upaya pemantauan telah dilakukan sejak 1967. Pada tahun 2022, perkiraan populasi melaporkan peningkatan menjadi 76 ekor dari sebelumnya 25 ekor.
Upaya Konservasi Badak di Indonesia
Dari lima jenis badak yang menjadi fokus “Keep the Five Alive”, dua di antaranya bisa ditemukan di Indonesia. Pelestarian badak di Indonesia menjadi prioritas utama dalam melindungi dua jenis badak yang sangat terancam punah, yaitu Badak Jawa dan Badak Sumatera. Kedua spesies ini dikenal sebagai “spesies kunci” dalam konservasi keanekaragaman hayati di Indonesia. Sebab, perlindungan mereka akan berdampak positif pada keberlangsungan spesies lain dan berbagai tipe habitat, mulai dari daerah dataran rendah hingga pegunungan di Jawa dan Sumatera.
Sejak Agustus 1995, terbentuklah Rhino Protection Unit (RPU) melalui kerja sama antara Yayasan Badak Indonesia (YABI), yang sebelumnya dikenal sebagai Yayasan Mitra Rhino (YMR), International Rhino Foundation (IRF), WWF, dan Pemerintah Indonesia guna melindungi Badak Jawa dan Sumatera yang tersisa saat itu. Selain itu menurut regulasi, kedua spesies langka ini masuk dalam daftar 25 spesies prioritas utama konservasi pemerintah Indonesia. IUCN telah mengategorikan Badak Jawa dan Badak Sumatera sebagai spesies yang Kritis Terancam Punah (Critically Endangered), dan Appendix I menurut CITES.
Badak, yang biasanya hidup sendiri, memiliki tingkat reproduksi yang rendah. Pengamatan langsung terhadap kedua badak ini sulit karena mereka jarang terlihat dan habitatnya yang terpencil. Camera trap (kamera jebak) menjadi alat bantu yang efektif untuk mempelajari perilaku dan populasi badak di alam liar. Misalnya, melalui camera trap di Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK). Pertama kali sensus Badak Jawa dilakukan di TNUK pada 1967, Schenkel dan Schenkel-Hulliger (1969) memperkiraan populasi awal hanya sekitar 21-29 individu. Melalui perhatian dan pengawasan yang ketat terhadap habitat Badak Jawa di Ujung Kulon, populasi mereka berhasil meningkat. Hasil sensus di tahun 1981 menurut Sadjudin dkk menunjukkan perkiraan jumlah individu Badak Jawa di wilayah ini bertambah menjadi sekitar 54-60. Pada tahun 2021, Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup mencatat bahwa populasi Badak Jawa saat ini mencapai 75 ekor dengan 4 kelahiran anak Badak sepanjang tahun 2021.
Kemudian kerabatnya, Badak Sumatera tercatat kurang dari 80 individu dalam populasi yang terfragmentasi di Taman Nasional Bukit Barisan, Taman Nasional Gunung Leuser, dan Taman Nasional Way Kambas di Indonesia. Namun, perkiraan yang disusun oleh pengawas perdagangan satwa liar TRAFFIC dan Asian Rhino Specialist Group di IUCN menyimpulkan bahwa jumlah badak sebenarnya hanya 34-47 individu. Selain melalui sensus, upaya yang sedang berlangsung yaitu dengan mengembangkan pusat pembiakan terkendali di Indonesia salah satunya Sumatran Rhino Sanctuary (SRS).
Selain upaya konservasi yang telah dilakukan, peningkatan pengawasan dan perlindungan terhadap habitat Badak, serta upaya pendidikan dan kesadaran masyarakat tentang pentingnya konservasi spesies ini juga sangat penting. Adanya kerja keras, kolaborasi global, dan penelitian ilmiah yang terus berkembang, kita dapat berharap melihat perubahan positif dalam upaya pelestarian Badak ini dan, pada akhirnya, menjaga keberlanjutan ekosistem di mana mereka hidup. Gerakan “Keep The Five Alive” adalah contoh nyata bahwa ketika kita bersatu, kita dapat melindungi dan mempertahankan keajaiban alam ini untuk generasi-generasi mendatang. Salam Lestari!
Tulisan ini merupakan hasil kolaborasi dengan Fajrin Shidiq, S.Pt., M.Agr.Sc. (Badan Riset dan Inovasi Nasional) dalam program magang NGO di Lembaga JAWI Indonesia
Referensi:
Duthé V, Odendaal K, Van der Westhuizen R, Church B, Naylor S, Boshoff S, Venter M, Prinsloo M, Ngwenya P, Hanekom C, Kelly CP, Walker TWN, Rasmann S, Defossez E. Reductions in home-range size and social interactions among dehorned black rhinoceroses (Diceros bicornis). Proc Natl Acad Sci USA. 2023 Jun 20;120(25):e2301727120. doi: 10.1073/pnas.2301727120.
Ellis, S. & Talukdar, B. 2020. Rhinoceros sondaicus. The IUCN Red List of Threatened Species 2020: e.T19495A18493900. https://dx.doi.org/10.2305/IUCN.UK.2020-2.RLTS.T19495A18493900.en. [Diakses 28.09.2023]
Ellis, S. & Talukdar, B. 2020. Dicerorhinus sumatrensis. The IUCN Red List of Threatened Species 2020: e.T6553A18493355. https://dx.doi.org/10.2305/IUCN.UK.2020-2.RLTS.T6553A18493355.en. [Diakses 28.09.2023]
Emslie, R.H.; Brooks, M. 1999. African rhino: status survey and conservation action plan. Gland and Cambridge, IUCN/ SSC African Rhino Specialist Group.
Gokkon B. 2019. Newly spotted calves boost Javan rhino population to 72. Mongabay Series: Asian Rhinos. https://news.mongabay.com/2019/12/javan-rhino-calves-population-72-ujung-kulon-indonesia/ [Diakses 25.09.2023]
Hockings G. 2016. Using camera traps to investigate the behavior and ecology of the Javan rhino (Rhinoceros sondaicus) to inform future conservation actions. Honours Thesis, University of Queensland, Brisbane.
International Rhino Foundation. State of The Rhino 2023. https://rhinos.org/wp-content/uploads/2023/09/State-of-the-Rhino-2023_Final_Updated-9212023-.pdf. [Diakses 25.09.2023]
International Rhino Foundation. 2020. Sumatran Rhino. https://rhinos.org/about-rhinos/rhino-species/sumatran-rhino/. [Diakses 02.10.2023]
Isnan, W., Subrata, D.D., & Van strein, N. J. (2005). Indonesian rhino Conservation Programme (IRCP) 2004. Annual report and summary of relevant data. Pusat Konservasi Badak Indonesia. Bogor.
McConkey, K. R., Aldy, F., Ong, L., Sutisna, D. J., & Campos-Arceiz, A. (2022). Lost mutualisms: Seed dispersal by Sumatran rhinos, the world’s most threatened megafauna. Biotropica, 346–357. doi: 10.1111/btp.13056
Renaldi D., Mulyani Y.A., Arief H. 1997. Status Populasi dan Perilaku Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus Desmarest) di TN Ujung Kulon. Media Konservasi Edisi Khusus, 41-47
Schenkel R, Schenkel-Hulliger L. 1969. The javan rhinoceros (Rhinoceros sondaicus Desm. 1822) in Udjung Kulon Nature Reserve, its ecology and behavior. Field Study 1967 and 1968. Acta Tropica Separatum 26(2):98-133.
van Strien, N. (2005): Report of the Asian Rhino Specialist Group. Pachyderm 39: 13–17.