Wildlife Tourism: Ruang Temu antara Konservasi Satwa Liar dan Masyarakat

September 2, 2025

Page Banner

Dibalik cerita indah tentang wildlife tourism yang digadang-gadang menjembatani harmoni antara manusia dan alam, ternyata tidak selalu manis. Konsep wisata ini memang menjanjikan upaya konservasi satwa liar, tapi benarkah selalu berpihak pada alam dan satwa? Atau hanya sebatas istilah yang ‘menentramkan’?

Kemuning EcoTour bersama para pemandu

Seiring maraknya perbincangan soal kelestarian satwa liar, sebuah konsep wisata mulai mencuri perhatian, Wildlife Tourism. Wisata yang menjadikan satwa liar sebagai daya tarik ini sering disebut sebagai jalan tengah yang dirasa mampu menyelesaikan permasalahan yang ada antara kebutuhan perlindungan satwa liar dan penghidupan manusia. Dalam praktiknya, konsep ini tak hanya memberikan pengalaman unik bagi wisatawan, tapi juga membuka peluang ekonomi bagi masyarakat lokal.  Bahkan jika skalanya sudah sangat besar, wildlife tourism bisa berdampak besar bagi perekonomian suatu negara. Kenya yang terkenal mempunyai beberapa taman nasional dan suaka alam, salah satunya Nairobi, telah merasakan dampak signifikan wildlife tourism untuk mendukung perekonomian negaranya. Kontribusi sektor wisata terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Kenya bisa mencapai 25% dan 70% pendapatan dari wisata tersebut berasal dari wildlife tourism. Bagi satwa liar, insentif yang didapatkan dari wildlife tourism bisa digunakan untuk mendukung konservasi satwa dan habitatnya. Tak hanya itu, wildlife tourism juga akan membuat lebih banyak orang memahami pentingnya konservasi satwa liar melalui selipan pesan edukasi saat kegiatan.

Sayangnya, cerita tentang wildlife tourism sebagai jembatan harmoni antara manusia dan satwa, ternyata tak sepenuhnya manis. Dibalik euforia pelaksanaannya,  masih menyisakan banyak persoalan. Beberapa praktik justru menimbulkan sisi lain yang jarang terlihat, yang mana dapat dampak negatif bagi kehidupan satwa.

Harmoni yang Rentan

Siobhan I. M. Speiran dan Alice J. Hovorka, peneliti dari York University, Canada memberikan pandangannya bagi pelaksanaan wildlife toursim berbagai permasalahan yang timbul dari kegiatan tersebut. Kedua peneliti tersebut berargumen bahwa masalah utama yang timbul dari wildlife tourism mencakup penderitaan satwa dan hilangnya keanekaragaman hayati, praktik-praktik tidak etis dan tidak berbasis bukti, kesenjangan pengetahuan tentang kesejahteraan satwa liar, serta keterlibatan minim satwa sebagai pihak yang berkepentingan dalam kegiatan.

Apalagi, jika ada pemindahan individu satwa dari habitat aslinya untuk tujuan wisata, juga dapat menimbulkan efek domino bagi populasi di alam liar. Pengambilan individu tersebut dapat menyebabkan perubahan perilaku dan reproduksi bagi kelompok yang masih liar, yang pada akhirnya bisa membuat satwa stres dan rawan terkena penyakit hingga bisa mengurangi kemampuan bertahan hidup dan berkembang biak di alam. Selain itu, wildlife tourism yang menjual daya tarik berupa kehidupan satwa di alam liar pun dapat membuat satwa menjadi kurang responsif terhadap keberadaan manusia karena proses habituasi. Hal ini diperparah dengan pihak penyelenggara wisata yang memfasilitasi interaksi dekat antara manusia dan satwa.

Dari 1.300 fasilitas kebun binatang dan aquarium yang terakreditasi oleh World Association of Zoos and Aquariums (WAZA), tiga perempatnya mengizinkan adanya paling tidak satu interaksi dengan satwa liar, seperti membelai, memberi makan, menaiki, berenang, dan foto bersama satwa. Meskipun beberapa interaksi bisa memberikan manfaat bagi satwa yang terlibat, namun sebagian yang lain justru membahayakan kesejahteraan satwa. Selfie dengan satwa misalnya, kegiatan ini mungkin terlihat biasa dan tidak membahayakan, namun dengan masifnya penggunaan sosial media untuk menyebar luaskan foto tersebut dapat memberikan efek negatif bagi satwa. Persepsi publik dapat berubah karena informasi yang salah. Satwa liar yang masih tetap dengan sifat liarnya dianggap sebagai obyek yang lucu sehingga bisa mendorong pada penyiksaan hewan, perdagangan ilegal, dan praktik wisata yang tidak etis. Adanya fenomena tersebut justru malah mengaburkan misi edukasi yang ingin disampaikan melalui wildlife tourism.

Jadikan Satwa sebagai Stakeholder?

Selanjutnya, hal yang perlu disoroti dari praktik wildlife tourism adalah tidak dilibatkannya satwa sebagai stakeholder. Satwa seakan tidak terlihat dalam pengambilan keputusan untuk wisata. Mereka sering kali diposisikan sebagai sumber daya, penerima pasif pandangan wisatawan, hanya dinilai berdasarkan nilai perjumpaannya dengan wisatawan serta kemampuannya dalam menyediakan jasa bagi ekosistem. Paradigma ini menjadikan satwa sebagai pihak yang inferior dibandingkan manusia sehingga dapat diperlakukan lebih rendah, dianggap benda mati yang tidak punya perasaan atau kepentingan, hingga dijadikan sebagai barang dagangan yang hidup. Dalam praktik wildlife tourism, mayoritas menganggap bahwa perjumpaan manusia dengan satwa tetap membuat satwa nyaman dan tidak menimbulkan rasa sakit baginya. Padahal satwa tetaplah makhluk hidup yang bisa mengekspresikan persetujuan atau penolakan melalui gerak tubuh, ekspresi, dan reaksi yang mereka buat saat berinteraksi dengan manusia. Para pelaku wisata baik tur operator ataupun wisatawan kerap mengabaikan saat satwa telah menunjukkan sinyal ketidaknyamanan.

Lantas, bagaimana caranya agar wildlife tourism tetap bisa menjadi solusi yang manjur bagi persoalan kelestarian satwa yang terancam oleh eksistensi manusia? Selama kita masih menggunakan satwa untuk pencapaian kesenangan dan kepuasan pribadi seperti ketika melakukan kegiatan wisata, kita wajib memperhatikan juga hal-hal yang membuat satwa senang. Kita perlu usahakan interaksi manusia-satwa yang bersifat timbal balik, yang mana kedua belah pihak saling merespons terhadap kepentingan, kebutuhan, dan kerentanan satu sama lain. Konkretnya, bisa dimulai dari perbaikan prosedur pelaksanaan wildlife tourism oleh para tur operator. Mereka perlu membuat panduan operasional yang menghormati kesejahteraan satwa terhadap atraksi yang melibatkan interaksi antara manusia-satwa. Panduan tersebut perlu dipegang sebagai prinsip kerja oleh semua anggota dari tur operator.

Persiapan dan edukasi awal wisatawan oleh Kemuning EcoTour

Kemudian, tur operator wajib melakukan edukasi kepada wisatawan sejak wisatawan belum membuat keputusan. Aturan-aturan tentang kesejahteraan hewan yang harus dipatuhi saat wisata perlu dicantumkan dalam informasi yang disertakan dalam materi pemasaran yang dirilis pada platIform publik seperti website resmi operator tur, TripAdvisor, atau Instagram. Informasi tersebut sangat berguna bagi wisatawan untuk membedakan atraksi satwa liar yang bermanfaat dan yang merugikan serta memilih tur operator yang bertanggung jawab akan kesejahteraan satwa. Terakhir, berhenti memaksakan kehendak kita kepada satwa ketika mereka sudah menunjukkan sinyal tidak nyaman. Jika sedang melakukan wisata di alam, jangan terus mengejar jika satwa telah menghindar berkali-kali. Amati dan kagumi saja mereka dari jauh.

JAWI sebagai organisasi yang juga menyediakan layanan wildlife tourism dengan tajuk Kemuning EcoTour selalu berpegang terhadap prinsip keberlanjutan dan kesejahteraan hewan dalam menjalankan layanan tersebut. Sebagai upaya untuk mengusahakan koeksistensi antara manusia dan satwa di Desa Kemuning, Temanggung, kami tidak menginginkan Kemuning EcoTour menjadi permasalahan baru bagi satwa-satwa di Hutan Kemuning. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan Kemuning EcoTour, kami telah memiliki standar yang harus dipatuhi oleh semua pihak yang terlibat, baik itu anggota JAWI, masyarakat lokal, dan wisatawan yang datang berkunjung. Kami juga melakukan pengaturan terhadap frekuensi dan jumlah pengunjung yang dapat menikmati layanan Kemuning EcoTour. Tujuannya, agar aktivitas wisata tidak merusak Hutan Kemuning dan menghindari habituasi satwa terhadap manusia. Kami ingin agar satwa disana bisa tetap hidup liar sembari menikmati asrinya Hutan Kemuning. Dalam pengamatan satwa malam yang menjadi salah satu atraksi Kemuning EcoTour, kami juga menegaskan pelarangan penggunaan senter dengan waktu berwarna putih yang kuat untuk menyorot satwa. Kami arahkan para pengunjung untuk menggunakan lampu senter berwarna merah atau redup agar tidak menyakiti mata satwa yang sedang diamati. Semoga dengan apa yang kami usahakan ini bisa berkontribusi dalam mewujudkan kehidupan harmoni antara manusia, alam, dan satwa liar.

 

Sumber:

Korir, J., Muchiri, J., & Kamwea, J. (2013). Wildlife-Based Tourism, Ecology and Sustainability of Protected Areas in Kenya. Journal of Natural Sciences Research, 3(3), 40–48.

Speiran, S. I. M., & Hovorka, A. J. (2024). Bringing Animals in-to Wildlife Tourism. Sustainability (Switzerland), 16(16). https://doi.org/10.3390/su16167155

Twining-Ward, L., Li, W., Bhammar, H., & Wright, E. (2018). Supporting Sustainable Livelihoods through Wildlife Tourism. Tourism for Development. World Bank. http://hdl.handle.net/10986/29417


Comment